Wednesday, September 17, 2008

Ramadan adalah sebuah perjalanan...!

Akhirnya ada waktu juga buat saya kembali menulis disini...!

Sebulan lebih tidak pernah mengupdate blog, sampai si Hangga yang Journalist itu bilang saya kehilangan ide. Mungkin juga ya, mengingat akhir-akhir ini kerjaan makin menumpuk dan buat membuang penat saya lebih suka main badminton atau pulang awal agar bisa segera bertemu dan bercanda dengan Arga. Semakin lucu anak itu, dan tingkah polahnya yang membuat Bundanya kadang kewalahan.

Membuka blog ini yang pertama saya temukan adalah Shout dari Mbah Im, sebutan akrab untuk mas Imam, yang sud
ah bertahun-tahun ini tidak pernah bertemu. Insyaallah lebaran nanti saya usahakan maen kesana, mas!

Sebenarnya sudah sangat terlambat, namun ingin sekali saya mengucapkan MARHABAN YA SYAHRA RAMADAN...! Bulan suci yang menjadi mahkota diantara bulan-bulan lainnya. Semoga selalu kita dalam Rahmat Allah dan Maghfirah-nya!

Ramadan ini tersa sangat special buat saya. Inilah Ramadan pertama saya sejak menjadi seorang suami dan seorang ayah. Sahur yang biasanya terasa sangat berat, kini menjadi begitu ringan. Apalagi sudah ada istri yang membangunkan, memasak, sementara saya sholat malam dan membaca Al Quran. Belum lagi ditambah teriakan-teriakan Arga yang sejak bulan puasa rajin bangun jam empat pagi.

Guys, buruan nikah, insyaallah Allah benar-benar meletakkan keindahan di sana! (ssstt...ini pesan untuk mas Imam, Yudwi, Landung, Marwan, dan tentunya si Hangga Ranuwijayaaaaa...! :D).

Menjelang bulan puasa kemarin saya dan istri sempat dipusingkan dengan telepon dari Mbak yang meminta tolong untuk "ngandani" anaknya (keponakan kami) untuk kembali fokus ke study-nya. In short words, ini anak lagi jatuh cinta ama seseorang. Bener-bener kelihatan banget dia sedang kepayang kalo menelusur ke FS dia atau mengamati tingkah lakunya. Padahal dalam pendidikan keluarganya, love must be put in to Islamic frame which has its own restriction. Makanya kemudian lahirlah pembeda antara muhrim dan bukan, antara ta'aruf atau khalwat, dan sebagainya.

Mungkin karena latar saya dan istri, kami sedikit lebih permissive dari keluarga Pati. Namun kami sepakat bahwa cinta harus diletakkan dalam tempat proporsionalnya dan bukan menjadi sebuah tujuan akhir karena tujuan akhir setiap manusia harusnya hanyalah Allah! Maka cinta harus juga diletakan dalam rangka meraih Diri-Nya!

Keponakan saya baru semester 3 di sebuah PTN di Surabaya. Orang yang dia suka ada di Jogja, Drop Out kuliah, dan bekerja di sebuah Rumah Sakit. Saya tidak mau menilai itu, biar nanti dia dan keluarganya yang membicarakan soal hubungan mereka. Karena saya juga percaya keponakan saya sudah harus mulai belajar untuk dewasa dan berpikir dengan logika bukan hanya perasaan yang menggebu-gebu karena itu akan menutupi rasio obyektivitas kita. Saya sendiri sudah menekankan padanya apa rambu-rambu yang harus dia mengerti dan patuhi (keponakan saya perempuan, jadi Anda pasti paham bagaimana kekhawatiran seorang Ibu dan Ayah)

Hmmm...cinta emang sebuah issue yang tak akan habs dibahas selama dunia masih berputar. Calhoun dan Acocella - sebagaimana dikutip kembali oleh Abdul Mujib - menyatakan bahwa para psikolog kurang berminat untuk mendefinisikan cinta, sebab makna cinta selalu berubah sesuai dengan
siapa dan apa yang dicintai. Cinta dalam terjemahan bahasa Arab adalah al-hubb atau mahabbah. Dalam Al Quran sendiri terdapat 13 bentuk akata dari al-hubb yang tentunya artinya disesuaikan dengan konteks ayatnya.

Menurut Ibnu Qayyim, al-hubb mempunyai 5 pengertian etimologi, diantaranya:

a. Habab (al-asnan) yang berarti jernih (shafa) dan putih (baydha'), seperti putihnya gigi. Cinta memerlukan kejernihan dan kesucian dari hati yang paling dalam. CInta yang tidak lagi suci dan jernih tidak akan pernah bisa abadi karena telah disebabkan oleh motivasi lain seperti birahi atau materiil.

b. Habab (al-ma') yang berarti luapan ('uluw) dan tampak jelas (zhuhur), seperti air yang meluap-luap saat hujan deras. Cinta yang bersemi cenderung bersifat meluap-luap atau meledak-ledak dan sulit dibendung. Apapun rintangan yang ada tidaklah menjadi persoalan karena dengan sifat ini seseorang akan berani menghadapi setiap rintangan yang ada.

c. Habba (al ba'ir) yang berarti keteguhan (luzum) dan kesetiaan (tsabat). Cinta sejati adalah cinta yang penuh keteguhan dan kesetiaan. Cinta sejati adalah cinta yang iberikan kepada obyek tunggal tanpa ada keinginan sekecil apapun untuk menduakannya.

d. Habat (al qalb) yang berarti relung (lubb) hati yang terdalam. Relung hati merupakan asal dari cinta yang suci. Bukanlah cinta yang suci kalo ia datang dari kemolekan tubuh, kemilau rambut atau gemerlapnya harta.

e. Hibb (al-ma') yang berarti menjaga (al-hifz) dan menahan (imsak), seperti air yang bertahan dalam bejana. Cinta sejati adalah cinta yang diiringi dengan perawatan dan penjagaan. Keduanya menjadi aspek yang tidak dapat dipisahkan. Perawatan meliputi segala hal yang bersifat fisik (kecantikan, kesehatan) dan psikis (ketentraman batin, nafkah lahir batin).

Wheeeww... love is not only LOVE rite?

Akhirnya, saya berharap Ramadan ini membawa kita semua ke sebuah tempat yang lebih baik. Ramadan adalah perjalanan yang harus kita lalui dengan niat mendapatkan cinta-Nya. Karena sesungguhnya hanya Cinta Allah yang benar-benar sejati. Jangan pernah mengeluhkan Dia yang tidak melihat sedikitpun kepada kita saat kita sedang jatuh, karena yang harus kita tanyakan adalah apakah kita menatap-Nya saat kita bahagia. Allah itu ada dan benar, maka kita seharusnya tidak pernah merasa lemah karena selalu bersandar pada Cinta-Nya!

p.s. Na, kami yang ada di Jogja, percaya padamu...!


(sumber; DZIKIR CINTA oleh Abu Rafi' Ibn Sumarjo)






Wednesday, July 30, 2008

Aid Delivered to Java Flood Survivors


In December 2007 a large scale flood occurred covering over half of the province of East Java and some parts of its neighboring province of Central Java affecting over 19 regions, an area as large as the Netherlands. Millions of people suffered due to the floods a thousands of farms and fields full of rice crops were completely destroyed. In May 2007, Muslim Aid funded by UN OCHA, sent 45,168 kg of rice, vitamins, 25,000 strips of Aquatabs, 13,750 sachets of ORS, hygiene kits, and hygiene kits to Lamongan, Tubuan, Pasuruan (East Java), and Pati in Central Java. The aid was received by the affected communities, "This has helped us survive longer, at least until we can get back on our own two feet" said Sri, a senior citizen of Lamongan after receiving food item from Muslim Aid.
Muslim Aid continues to gives aid one month after the flooding as the water begins to recede. The local government expressed its appreciation for Muslim Aid’s assistance.

“Everybody has been very helpful to us, the Muslim Aid team is very grateful for the excellent assistance that we get from the local leaders, local government and the community,” said Joko Yuliantoro, the Emergency Team Leader.
Muslim Aid has assisted 12,500 households in East and Central Java during its relief efforts from December 2007 to April 2008. The effort was funded by Muslim Aid UK, Muslim Aid Australia, and UN OCHA. As part of the assistance, Muslim Aid delivered a community-based disaster management in the District of Ngawi, a district which is annually flooded, to help the community prepare themselves on how to manage and cope with the disasters.

(for further info please visit www.muslimaid.org)

Sunday, July 6, 2008

Ika Puji, a Stout Hearted Daughter

Anak itu menyeka peluh yang membasahi keningnya. Dia baru saja melakukan registrasi ulang dari sekolah yang jaraknya sekitar 7 kilo meter dari rumahnya dan setiap hari dia tempuh dengan berjalan kaki melalui jalanan yang naik turun. Membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk menempuh perjalanan itu mengingat rumahnya terletak di salah satu puncak perbukitan Menoreh dengan ketinggian diatas 650 meter dari atas permukaan laut.

“Mari, mas, maaf tempatnya masih berantakan…!” sambutnya ramah bersama Bu Nah, ibunya, saat Team Muslim Aid menyambanginya siang itu.

Ika Puji namanya, siswa kelas 2 SMK Negeri 1 Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo. Dia tinggal di Dusun Nglinggo, Desa Pagerharjo, Kecamatan Samigaluh, bersama ibu dan adiknya, Ita, yang masih duduk di kelas empat SD. Ayahnya baru saja pergi menghadap Sang Khaliq awal minggu ini, setelah selama setahun berjuang melawan penyakitnya.

Lahir dari sebuah keluarga sederhana, Ika adalah anak yang rajin bekerja membantu kedua orang tuanya sekaligus anak yang cukup cerdas di sekolahnya. Pak Sarto, sang ayah, hanyalah seorang buruh bangunan dengan penghasilan tidak menentu. Sedangkan ibunya, Bu Sartinah, bekerja mengolah ladang yang luasnya tidak seberapa. Seperti nasib kebanyakan buruh dan petani kecil lainnya, kehidupan ekonomi keluarga Ika tidaklah mapan. Penghasilan mereka hanya cukup untuk makan sehari-hari dan biaya sekolah Ika dan adiknya. Tidak heran, Ika dan keluarganya hanya mendiami sebuah rumah bata tanpa plester dengan lantai tanah yang kecil. Namun hal itu sama sekali tidak menyurutkan rasa syukur keluarga ini terbukti dengan rajinnya Pak Sarto sekeluarga beribadah kepada Allah dan Ika sendiri selalu rajin belajar dan tidak pernah mengeluhkan keadaannya.

Namun, Allah juga yang akan selalu menguji hamba-hamba-Nya yang beriman. Di pertengahan tahun 2007, saat tengah menjadi buruh pembangunan rumah salah satu tetangganya, Pak Sarto jatuh dari ketinggian sekitar 6 meter. Salah satu syaraf di pinggangnya cidera yang membuat Pak Sarto mengalami lumpuh sebagian. Selama sekitar satu bulan Pak Sarto dirawat di rumah sakit Dr. Sardjito Yogyakarta, yang menelan biaya yang tidak sedikit. Dari hasil pemeriksaan dokter diketahui juga kalau ternyata Pak Sarto menderita tumor prostat. Hal ini memperparah kondisi beliau sehingga karena tidak juga mengalami kemajuan yang berarti, pihak keluarga meminta untuk merawat sendiri Pak Sarto di rumah. Berbagai pengobatan alternatif pun dicoba meskipun tetap saja tidak memberikan perkembangan signifikan pada kondisi Pak Sarto yang sekarang hanya dapat berbaring dengan tubuh yang semakin mengurus.

Kondisi perekonomian keluarga inipun mulai limbung. Sebagai satu-satunya penopang perekonomian keluarga, sakitnya pak Sarto membuat keluarga ini tidak lagi mempunyai sumber pendapatan yang bisa diandalkan. Bahkan akhirnya mereka menjual sebagian ladangnya untuk menutupi biaya pengobatan Pak Sarto dan juga kebutuhan sehari-harinya.

Ika pun sangat memahami kondisi keluarganya saat ini. Dia bisa mengerti kalau saat ini ibunya tidak bisa lagi sekedar memberikan uang saku untuknya. Dia sepenuhnya menerima saat ibunya lebih mementingkan biaya hidup mereka sehari-hari, pengobatan ayahnya, dan uang saku adiknya daripada membayar uang gedung sekolahnya, membayar SPP-nya, atau melunasi uang seragamnya. Dia tahu, itu bukan karena ibunya tidak mengetahui kebutuhan dirinya, namun keadaanlah yang memaksa Bu Nah untuk pandai-pandai mensiasati perekonomian mereka. Didorong semangat kemandiriannya, Ika minta ijin ibunya untuk berjualan buah aren dari kebunnya. Di lain waktu dia membantu tetangganya memetik kopi untuk mendapatkan upah sebagai pengganti tenaganya. Ika melakukan itu seusai pulang sekolah atau pada saat hari libur. Uang yang dia dapat sebagian diberikan kepada ibunya dan sebagian yang lain dia gunakan untuk uang saku sekolahnya. Bu Nah hanya bisa menangis melihat semangat anak perempuannya, seiring rasa bangga juga muncul di benaknya. Kadang dia begitu nelangsa melihat anak pertamanya pulang sekolah bermandikan keringat tanpa Bu Nah dapat memberikan uang saku di pagi harinya.

Uang yang didapat Ika tentu saja jauh dari kebutuhannya yang sesungguhnya. Dia tidak mampu juga melunasi tunggakan pembayaran-pembayaran sekolahnya. Padahal ujian kenaikan kelas sudah dekat sehingga ketakutan tidak dapat mengikuti ujian selalu menghantuinya. Hal ini mendorongnya memberanikan diri meminta uang pada ibunya. Namun, darimana Bu Nah bisa mendapatkan uang sejumlah sekitar 700 ribu rupiah sebagai biaya pelunasan uang gedung, SPP, seragam, dan beberapa biaya lainnya? Di tengah keputus-asaannya, Bu Nah dan Pak Sarto dengan berat hati meminta Ika untuk berhenti sekolah saja. Selain karena tidak mampu lagi membiayainya, mereka juga kasihan melihat Ika yang setiap hari berjalan kaki sangat jauh tanpa mampu memberikan uang saku yang layak.

Ika menolaknya. Dia meyakinkan orang tuanya bahwa pasti ada jalan dari Allah. Alhamdulillah, pada saat itu Muslim Aid datang untuk memberikan sedikit bantuan kepada keluarga ini. Melalui program Goat Breeding, Muslim Aid memberikan alternatif sumber pendapatan tambahan kepada keluarga Pak Sarto. Selain itu Muslim Aid juga melunasi seluruh tunggakan pembayaran tahun pertama Ika Puji sehingga dia dapat tetap mengikuti ujian kenaikan kelas.

Namun, ujian Allah tidak berakhir sampai di situ. Setelah sekitar satu tahun berjuang melawan penyakitnya, kondisi pak Sarto semakin menurun. Tubuhnya kini sangat kurus dan tidak mampu lagi menggerakkan anggota badannya. Akhirnya, pada hari Selasa, tanggal 1 Juli 2008, pukul 04.00 sore, Pak Sarto menghembuskan nafas terakhirnya setelah semua cara pengobatan diusahakan untuknya. Pada saat terakhirnya Pak Sarto tiduran di ruang tengah, ditunggui keluarganya. Beliau menolak untuk dipindahkan ke kamar tidurnya dan berkata: "Mboten sah dipunpindah, ngaten punika kula sampun sekeca...!". Innalilahi wa innaillaihi roji’un! *

”Nyuwun donganipun, mas, mugi-mugi kula sakeluarga saged tansah dipun paringi kekiyatan nampi cobi menika lan margi gampil anggen kula pados biaya sekolah kangge lare-lare!” ucap Bu Nah terbata saat Team Muslim Aid menyalami tangannya. ** Rona kesedihan masih mengambang di wajah Bu Nah, Ika, dan si kecil Ita. Sekarang keluarga ini harus hidup tanpa Pak Sarto, sosok suami dan ayah yang sangat mereka sayangi. Namun ada keikhlasan disana dan ada semangat untuk menapaki hari-hari yang akan datang. (Jk)
***

* ”Tidak usah dipindah, begini saya sudah nyaman!”
** ”Minta doanya, mas, semoga saya dan keluarga selalu diberi kekuatan menerima cobaan ini, dan diberi jalan mudah dalam mencarikan biaya sekolah anak-anak!”

A New Home for Bu Sri...!

“Entah dengan apa kami bisa berterimakasih”, kata Bu Sri dengan mata berkaca. Suaminya yang berdiri di sampingnya mengangguk pelan. Jabatan tangan Bu Sri begitu erat, menggenggam tangan Alley, salah seorang staff kerja Dave Hodgkin, orang yang mengorganisir bantuan perumahan untuk orang-orang cacat bersama dengan Muslim Aid. Bu Sri, warga Dusun Satrian, Desa Cepoko, Kecamatan Sawit, Boyolali, Jawa Tengah, merupakan salah satu penerima bantuan ini dan rumahnya telah dapat di ekspand menjadi rumah permanen.

Sebelum terjadinya gempa 27 Mei 2006, Bu Sri bekerja sebagai seorang buruh di sebuah pabrik tekstil di daerah Kabupaten Boyolali. Suaminya, Pak Joko Bini, mempunyai toko minuman dan makanan kecil yang penghasilannya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Beruntung Bu Sri seorang pekerja keras dan tidak mudah mengeluh. Penghasilannya sebagai buruh pabrik dia gunakan untuk membiayai sekolah anak lelakinya. Didorong keinginan untuk meningkatkan perekonomian keluarganya, Pak Joko Bini pergi ke Kalimantan, bekerja di sebuah perkebunan. Ia menjual toko kecil miliknya dan menggunakan uangnya untuk biaya tiket dan modal. Bu Sri sendirian membesarkan kedua anaknya yang masih kecil dengan terus berharap kehidupannya akan berangsur membaik.
Namun, Tuhan mempunyai cerita sendiri untuk setiap hamba-hamba-Nya. Pak Joko Bini harus meninggalkan pekerjaan yang baru dijalaninya sebentar, ketika dia menerima kabar tentang gempa besar yang melanda Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Sabtu, 27 Mei 2006, mungkin merupakan hari yang tidak akan pernah dilupakan oleh Ibu Sri Tumini dan keluarganya. Gempa besar yang mengguncang Yogyakarta dan Jawa Tengah meluluh-lantakkan ratusan ribu rumah, menewaskan 6,000 jiwa, dan ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal. Tidak terkecuali rumah kecil miliknya yang roboh dan menimpa dirinya. Bukan itu saja, anak bungsunya, Eko Prasetyo, yang saat itu berusia 4 tahun ikut terkubur dalam puing-puing rumahnya.
Pagi itu Bu Sri tengah bersiap-siap memandikan Eko sebelum berangkat ke pabrik tempat dia bekerja. Tiba-tiba dia merasakan bumi bergetar dengan hebat dan secara reflek dia berlari membawa anaknya keluar. Malang, rumah kecil yang dia bangun bersama suaminya telah runtuh terlebih dahulu. Gordijn rumah tepat menimpanya, sementara anaknya terkubur reruntuhan tembok. Dia berteriak minta tolong, namun suaranya tertelan gemuruh rumah-rumah yang runtuh saat itu.

Ketika Bu Sri tersadar, dia telah dirawat di tenda darurat. Rasa sakit menyergapnya namun yang kemudian terlintas pertama kali adalah bagaimana kondisi anaknya. Dan barulah dia merasa lega ketika tahu bahwa anaknya hanya mengalami luka kecil sedang anak sulungnya selamat.

Gempa telah mengubah hidupnya selamanya. Dokter mengatakan bahwa tulang belakangnya terluka sehingga dia harus menjalani sisa hidupnya sebagai seorang yang cacat. Dia menjalani terapi dan bantuan medis yang diberikan oleh salah satu NGO yang bekerja membantu para korban gempa. Seluruh tabungannya yang hanya sedikit habis untuk keperluan perawatannya. Kepulangan suaminya memang memberikan bantuan moral yang besar, namun keadaan ekonomi mereka memburuk dengan drastis, sehingga untuk hidup pun mereka menggantungkan bantuan orang tua Bu Sri. Dan sejak gempa bumi terjadi, cobaan terus-menerus mendera keluarga ini.

Sebulan setelah gempa terjadi, Eko mendadak sakit panas. Bu Sri yang saat itu tengah menjalani terapi di rumah sakit bersama suaminya diminta pulang. Pada saat dia tiba dirumah, dia mendapatkan tubuh anaknya telah terbujur kaku. Bu Sri dan suaminya menangis, menumpahkan kesedihannya. Tidak disangka, anak bungsunya berpulang begitu cepat, meninggalkan keluarganya. Bahkan sang kakek tak kuasa menahan tangis sembari berdoa kepada Allah agar mengambil hidupnya sebagai ganti kehidupan cucu kesanyangannya.
Subhanallah, maha suci Allah yang selalu penuh kasih kepada hamba-hamba-Nya. 2 jam setelah dinyatakan meninggal, jenazah Eko yang baru saja dimandikan mendadak bergerak kembali. Nadinya berdetak normal lagi dan mengejutkan ratusan pelayat yang hadir. Bu Sri dan keluarganya sontak mengucapkan syukur tak henti-hentinya kepada Allah.

Seakan tiada habisnya, keluarga ini kembali harus mengalami cobaan pahit ketika mengetahui nama mereka tidak masuk kedalam daftar penerima bantuan rumah permanen baik dari pemerintah maupun dari pihak-pihak lain. Lebih dari satu tahun lamanya mereka terpaksa hidup di shelter bambu yang mereka bangun sendiri. Berempat mereka tidur di atas satu-satunya tempat tidur yang ada di shelter mereka sambil berharap ada yang datang membantu keluarga mereka. Semua uang mereka telah habis, sehingga Pak Joko Bini pun kesulitan memulai pekerjaan baru. Dia bergabung dengan tetangganya menjadi tenaga serabutan, kadang menjadi buruh bangunan atau membantu mengangkut kayu dengan penghasilan yang tentu saja jauh dari mencukupi. Mereka semakin putus asa ketika melihat tetangga-tetangga mereka sudah mempunyai rumah baru sedang mereka masih menggantungkan hidup dari orang tua. Belum lagi anak sulung mereka, Trisno Nugroho, mulai membutuhkan banyak biaya karena sudah akan naik kelas 3 SMP, sedang adiknya sudah harus masuk sekolah dasar. Namun pada saat mereka benar-benar diuji ketegarannya dan mulai putus asa mengharapkan rumah baru, di bulan Agustus 2007 keluarga ini menerima kunjungan tak terduga dari volunter Muslim Aid. Tim volunter ini melakukan pendataan korban gempa yang belum mendapatkan bantuan rumah, khususnya bagi korban yang mengalami cacat fisik karena gempa.

”Sampaikan terimakasih kami pada Pak Wilmot, mas! Bertemu dengan beliau dan mendengar nasehatnya membuat kami semakin tegar menghadapi hidup. Semoga beliau selalu sehat!,” imbuh ibu dua anak ini kepada tim Muslim Aid yang menemani kunjungan Alley untuk melihat langsung rumah permanen yang dibangun melalui project Muslim Aid ”Semi Permanent House Assistance for Disabled”. Pak Wilmot yang Bu Sri maksud adalah Bapak H. Fadlullah Wilmot, Country Director Muslim Aid Indonesia. Beliau menyempatkan diri mengunjungi keluarga Bu Sri pada awal September 2007.

Pada saat itu Pak Wilmot berpesan;
“Nanti Muslim Aid akan berusaha membantu Bapak-Ibu dengan rumah yang lebih baik. Bapak-Ibu jangan lupa terus berdoa, semoga Ibu bisa segera sehat dan Bapak bisa bekerja lagi. Insyaallah, Allah pasti memberi jalan bagi keluarga Bapak-Ibu!”

Sebuah pesan yang dimaknai dengan sangat dalam baik oleh Bu Sri maupun Pak Joko Bini. Nasehat inilah yang mereka jadikan pegangan menjalani kehidupan mereka. Semangat baru muncul ketika mereka tahu masih banyak orang-orang yang peduli dengan nasib mereka. Kepedulian yang ditunjukkan Pak Wilmot menghadirkan kembali harapan yang awalnya mulai redup.

Kini Bu Sri dan keluarganya telah menempati rumah permanent baru yang dibangun oleh Muslim Aid. Pak Joko Bini sendiri telah siap memulai kembali usaha toko minuman dan makanan kecilnya dengan bantuan modal yang juga diberikan oleh Muslim Aid untuk membantu perekonomiannya. (Jk)

PON XVII dan Semangat Kita...!

Euro 2008 sudah berlalu dengan membawa kekecewaan. Spain membuktikan bahwa permainan yang konsisten adalah kunci untuk dapat memenangkan sebuah kejuaraan. Sesuatu yang gagal diperagakan oleh Belanda, Jerman, dan Italia, 3 negara yang secara tradisi adalah unggulan-unggulan sebuah turnamen. Saya sendiri yang menyukai total football Belanda, kecewa berat dengan permainan mereka saat melawan Rusia yang dengan apik mem-plagiat cara bermain mereka.
Well, sudahlah, mari kita tinggalkan Euro 2008 yang seandainya kita letakkan di tempat yang semestinya bukanlah pesta kita Bangsa Indonesia. Saat ini justru seharusnya kita yang sedang berpesta dengan digelarnya PON XVII di Kalimantan Timur. Sebuah event olah raga terbesar di tanah air yang pembukaannya dilakukan Presidan SBY ini ternyata tidak mendapatkan peliputan sebesar Euro 2008. Hanya TVRI yang melakukan siaran Live pembukaan dan beberapa pertandingan.
Ini adalah kebalikan dengan yang terjadi pada era Orde Baru. Setiap kali ajang PON diselenggarakan dipastikan semua televsi nasional akan merelay siaran langsungnya dari TVRI meliput atlit-atlit terbaik negeri ini berlaga. Lalu ajang bergengsi SEA Games. Semua orang akan larut bangga saat seorang atlit mampu menyumbangkan medali emas dan Indonesia Raya berkumandang seiring dikibarkannya Sang Merah Putih dengan megah. Atau jutaan warga akan ikut marah dan mencaci maki saat atlit Indonesia dicurangi oleh wasit saat bertanding melawan atlit tuan rumah. Tidak heran jika pada jaman Orde Baru Indonesia adalah langganan juara umum.
Sekarang?
Indonesia seperti kehilangan semua tajinya di pentas olah raga ASEAN (kita tidak usah bicara Asia apalagi dunia). Jangankan bersaing dengan Thailand, superioritas kita sudah digerogoti oleh Vietnam dan Singapore. Malaysia juga tetap menjadi saingan berat kita. Dunia olahraga kita seperti jalan di tempat, stagnan!
Terlalu banyak yang salah dengan pembinaan atlit kita mungkin. Namun kesalahan pada penanaman rasa kebangsaan kita juga begitu besar. Manajemen bonus membuat banyak atlit kita yang hanya bermain berdasarkan bonus. Semakin tinggi bonusnya, semakin bersemangat mereka bermain. Dengan manjemen uang ini juga yang membuat televisi-televisi kita ogah menyiarkan pertandingan di event PON dan SEA Games. Alasannya sudah pasti, sponsorship dan ratingnya kecil. Dengan begitu lebih baik mereka menggunakan budgetnya untuk membiayai siaran langsung semacam EURO 2008 yang meskipun mahal sekali tapi mampu menangguk untung.
Bangsa kita mungkin memang sedang dalam masa gelapnya. Reformasi 2008 hanya berhenti dengan pelengseran Pak Harto dan bukan pemberangusan mis-managemen bangsa ini. Hasilnya, korupsi adalah sesuatu yang lumrah dan harus dilakukan oleh pemerintah, DPR, dan lembaga-lembaga lain. Demokrasi kita berhenti pada penyelenggaraan pemilu dan pilkada yang menelan biaya luar biasa. Harga-harga kebutuhan yang semakin membumbung tinggi adalah bukti bahwa reformasi masih gagal untuk membela rakyatnya sendiri.
Saya kangen menyanyikan lagu Garuda Pancasila bersama-sama dengan lantang. Saya kangen memberikan hormat pada Sang Merah Putih di atas tiang. Saya kangen melihat bangsa ini bersatu dan berkata; "Aku adalah Indonesia, Indonesia adalah aku...!".

(searching for solution mode is on...!)


Wednesday, June 4, 2008

EURO 2008 Di Ambang Pintu...!


Musim kompetisi 2007-2008 sudah selesai. MU jadi kampiun di Inggris dan Eropa, Intermilan masih berkuasa di Serie-A, dan lagi-lagi Barcelona gagal menghadang hegemoni El-Merengues di Laliga Primera.

Tapi musim ini memang berakhir sangat mengecewakan buatku, seorang Milanisti. Bagaimana mungkin klub yang punya sejarah besar dan tradisi kuat juara harus hampa gelar dan tersingkir dari Liga Champion musim depan? Benar-benar peremajaan yang harus segera dilakukan. Apa susahnya buat Milan membeli pemain muda yang berbakat? Tapi dari dulu kebiasaannya hanya memboyong pemain tua yang ujung-ujungnya membuat tim yang sudah menjadi favoritku sejak jaman Rijkard-Gullit-Basten ini kehabisan nafas.

And the dissapointment is getting even deeper saat Inggris tersingkir dari perhelatan EURO 2008 karena kalah bersaing dengan Kroasia dan Rusia. Tim dengan bintang yang mentereng dan liga terbaik dunia, tidak ambil bagian dalam hajatan terbesar sepakbola Eropa. It is a tragedy!

However, show must go on! Dan akhir pekan ini kick-off akan dimulai. What is your favourite? Aku menyukai total football-nya Van Basten dengan Tim Oranyenya, tapi seneng juga liat Kesebelasan Italia. Kebetulan mereka satu group, ditambah dengan Perancis yang ditukangi Si Domenech. Pelatih bagus, tapi suka komentar pedas dengan tim lain khususnya Italy.

Apapun, EURO 2008 akan menyuguhkan tontonan luarbiasa buat semua pecandu bola. Akan ada drama dimana satu tim akan tertawa dan tim lain menangisi kegagalannya. Sepakbola memang bukan sekedar olah raga. Ia sudah menjelma menjadi bisnis raksasa, melodrama, dan pemersatu semua pihak yang sebelumnya berseberangan. Thanks buat TV Nasional yang akan menanyangkannya secara live sebulan penuh. Sambil njagain ARGA, nonton bola, ngemil, pasti asyik banget.

Akhirnya, selamat menikmati hiburan ini. Aku kasih link jadwal tayangan langsungnya, buat referensi teman-teman nanti. Klik di sini http://www.kompas.com/bolaropa.php/pertandingan

Let's hope, Tim Nas kita bisa segera bangkit berprestasi dan berdiri kokoh! Karena hanya sepak bola yang mampu menyatukan lebih dari 96,000 orang di Gelora Bung Karno saat Piala Asia lalu ditambah seluruh rakyat Indonesia, dan menyanyikan INDONESIA RAYA dengan hati yang berkobar-kobar.

I was crying that time! Itu adalah moment yang seharusnya hadir setiap saat di dada kita semua. Saat kita selalu merasa satu di tengah semua perbedaan ini. SATU UNTUK INDONESIA! Kapan..?











Tuesday, June 3, 2008

RENDEZVOUZ

Kemarin tidak sengaja menemukan blog temen-temen SMA dulu. Jadi keingetan jaman masih jadi anak bengal yang kerjaane bolos ma men melulu. Angga, Landung, Yudwi, Udi, dll. Almost 11 years since the last time we were there, buddies!

Kerja memang menjadi penghabis waktu paling besar menurutku. Sampai kadang kita lupa kalo hidup bukanlah sekedar kerja, tapi juga ada keluarga dan teman-teman di luar sana yang justru paling bisa membuat hidup kita berwarna. Lupa atau malah memnag dipaksa untuk lupa?

That’s the problem, guys! When you think that your work is your only life, then you’ll get stuck into it and sooner or later you’ll loose your social side. You’ll act, think, and see everything from the angle of effectiveness of your routine work mechanism. You’ll fail to give a human touch there as you’ll lean only to a logical frame and leave your heart behind!

So, sering-seringlah bertemu dengan orng lain di luar lingkaran rutinitas kita, karena hidup kita akan menjadi jauh lebih luas. Ada waktu untuk kerj, namun ada juga waktu untuk keluarga dan lingkungan kita. Don’t spend it too much in one area!

Back to earth, ternyaa mencermati blog teman-temanku membuatku tahu bagaimana sekarang mereka sudah jauh berubah. Ada hidup yang mereka pilih untuk dijalani meskipun selalu saja laki-laki akan terus mencari yang lebih baik.

Angga, my first compatriot. Dulu anaknya pendiam sekali, tapi sekarang sudah jadi journalist di salah satu majalah bisnis yang cukup kondang. Dia menuangkan seluruh pandangan-pandangannya tentang hidup yang universal dan kemampuan untuk tidak terjebak dalam modernitas dangkal yang justru membuat banyak dari kita melupakan nilai-nilai akar budaya kita sendiri yang sangat adiluhung.
Wuiiihhhhhhhhhhhhh, hebat euy…! Tidak nyangka kamu sekarang bis punya wawasan seluas pesisir kidulmu, Dab!

Aku masih ingat kami punya kebiasaan yang sama kalo sedang suntuk. Apalgi kalo bukan bermain bola seharian di sepanjang pantai selatan, sambil sesekali menghambur ke arah datangnya ombak besar. Tapi sampai sekarang kok aku tetep gak bisa berenang ya? Wakakakakakakakak, truly embarassing! Apalagi sekarang, saat badan udah overweight begini. Jadi cukup senanglah, sebatas punya cita-cita bisa renang!

Lalu kita beranjak ke Landung, anak yang langganan ranking sau pas SMA. Hahahahaha, kok biso o ya? Lha wong kami-kami yang mandi 3x sehari saja erlempar dari 10 besar, lha ini yang jarang mandi malah nangkring di atas sana.
Sama-sama suka manjat gunung, dulu aku dan Landung bela-belain nyuri kacang tanah saking laparnya pas manjat salah satu bukit batu di lereng Menoreh.

Tidak tahu, apa yang saat ini kamu cari, Teman!

Kuliah tidak selesai, dan masih saja suka erbang seperi jaman masih muda. Tapi aku yakin ada banyak hal yang kamu punya di luar sana. Mungkin justru khasanah pikiranmu jauh lebih luas daripada temen-temen yang terpaksa erkurung di kantor seperti aku.

Let’s conquer another mountain, dude!

Lalu Yudwi, keluargakau selanjutnya. Dia anak yang tidak pernah menampakkan emosinya, tapi jangan tanya kemampuan otaknya.

Yang namanya matematika koordinat dan segala macam rumus empiris, sama sekali tidak bisa nyantol di otakku yang kecil ini. Tapi coba kasih ke Yudwi, dan dengan garuk-garuk kepala dia akan menyelesaikannya dalam hitungan menit. Tidak heran kalo sekarang dia jadi guru fisika di salah satu SMA di Wates. Ha, Yudwi jadi guru? Wakakakakakaa...

Aku menjadi bagian keluarga ini saat BBM jaman reformasi naik gila-gilaan dulu (meski tidak segila sekarang). Semua angkutan umum mogok, jadi aku selalu nginep di empa Yudwi. Diajari naik motor, keliling kota buat nyari makanan, dan banyak lagi. That was great, Yud!

Rasanya bersalah banget sudah lama aku tidak silaturahmi kesana. Gimana kabar bapak, ibuk, mas Imam, Bintok, dan simbah, Yud? Nanti akan aku ajak anak dan istriku sowan kerumahmu.

I really miss you, guys! Apakah ada waktu di depan sana kita bisa bertemu, meniti waktu, dan bercerita tentang masa lalu itu? Bukan untuk mengulangi semuanya, tapi melnjutkan lagi kisah persahabatan kita dengan lebih erat dan hangat, biar hidup kita semakin berwarna.

“NANTI AKAN KUCARI LAGI KAL
IAN…!”

Friday, May 30, 2008

"Persembahan untuk Istriku...!"

Tentang kita…

Aku menemukanmu diantara tegakan hijau cemara dan wangi pohon pinus
Seperti pendar yang bercerita tentang terang
Maka matamu adalah kerlip kunang-kunang dalam kegelapan

Aku menemukanmu diantara hembusan angin dan rintik embun pagi
Seperti fajar yang menutup barisan malam
Maka senyummu adalah kipasan titik-titik kesejukan
Dan biarkan segala teduh menjadi dekapmu
Tempat dimana aku bisa membiarkan diriku bersandar
Adakah elang bisa terbang jika sayapnya berkepak hanya sebelah? Maka jadilah kepak hidupku

Mungkin rindu yang kupahat atas namamu
Tidaklah secantik lekuk pelangi
Mungkin mimpi yang coba kuberi atas harapmu
Tidaklah segemerlap bintang-bintang di malam hari

Namun ia datang sebagai hangat dalam hidupmu
Sebagai bening yang tulus untuk hatimu
Sebagai kesetiaan yang tak terpupus oleh waktu
Sebagai indah yang menjadi warna semestamu

Ya…
Cintaku padamu adalah sebuah garis tegak lurus
Antara hati terdalam dan kaki langit
Bernama kebahagiaan...

Here I am...!

“Namanya ARGA, lengkapnya ANARGYA FAHMI ‘ILMI NUGRAHA. Lahir tepat di pertengahan bulan Mei 2008 saat ayahnya tengah bertugas di pelosok selatan Pati, Jawa Tengah. Maafin ayah ya, Nak, tidak bisa terus menungguimu...!

Rasanya ada semangat baru yang mengalir di hatiku setiap kali aku melihat wajah mungil anakku. Kemarin hasil USG menunjukkan kalo anakku laki-laki. Tapi hampir semua orang menduga kalo istriku akan melahirkan bayi wanita. Katanya istriku suka ber-make up, perutnya bulat, dll. So, kamipun hanya tersenyum setiap kali ditanya hasil USG-nya. Apalagi banyak temen-temen yang hasil USG-nya berbeda dengan jenis kelamin bayi mereka saat sudah lahir (hmmm….penjelasan ilmiahnya gimana ya?).

But, the basic principle is bayinya sehat, Bundanya juga sehat, persalinannya normal, then everything will be ok! Mau laki-laki atau wanita, itu adalah anugerah Tuhan buat kami, so tidak akan ada yang membuatnya mendapatkan cinta yang kurang. And I got a boy!

Guys, it’s definitely amazing to know that I’m now a father!

Mendapatkan nama buat anakku tuh cukup lama prosesnya. Terinspirasi nama anaknya Nindya, temen kerja dulu, yakni Lathifa (ejaannya bener kan, Jeng?). Dari kata Al-Lathif, salah satu Asmaul Husna yang berarti Yang Maha Lembut. Jadinya semangat banget untuk nyari nama yang syarat doa dan makna, bukan hanya sekedar permainan kata.

And here it is: ANARGYA FAHMI ’ILMI NUGRAHA. Anargya dari bahasa Jawa yang artinya tidak ternilai harganya, Fahmi ‘Ilmi dari bahasa Arab yang artinya pemahaman ilmu, dan Nugraha dari bahasa Jawa yang artinya anugerah. Khusus untuk Nugraha, sengaja kuambilkan dari nama Bundanya; ERNI SOFA NUGRAHA, sebagai sebuah penghormatan untuk dirinya. Jadi kelak semua anak kami insyaallah akan selalu menggunakan nama Nugraha di belakangnya.

Finally, ANARGYA FAHMI ‘ILMI NUGRAHA adalah Sebuah anugerah tak ternilai dari Tuhan yang dikaruniai pemahaman ilmu. Minta doanya, Oom dan Tante, ARGA tumbuh menjadi anak yang sholeh, sehat, cerdas lahir dan batin, dan selalu dimudahkan segala urusannya di dunia dan akhirat. Amiiiin…!”

Cepat besar, Nak!

"Semangatku satu, untukmu Indonesiaku…!”

"Semangatku satu, untukmu Indonesiaku…!”
~ picture by hangga ranuwidjaja ~