Wednesday, July 30, 2008

Aid Delivered to Java Flood Survivors


In December 2007 a large scale flood occurred covering over half of the province of East Java and some parts of its neighboring province of Central Java affecting over 19 regions, an area as large as the Netherlands. Millions of people suffered due to the floods a thousands of farms and fields full of rice crops were completely destroyed. In May 2007, Muslim Aid funded by UN OCHA, sent 45,168 kg of rice, vitamins, 25,000 strips of Aquatabs, 13,750 sachets of ORS, hygiene kits, and hygiene kits to Lamongan, Tubuan, Pasuruan (East Java), and Pati in Central Java. The aid was received by the affected communities, "This has helped us survive longer, at least until we can get back on our own two feet" said Sri, a senior citizen of Lamongan after receiving food item from Muslim Aid.
Muslim Aid continues to gives aid one month after the flooding as the water begins to recede. The local government expressed its appreciation for Muslim Aid’s assistance.

“Everybody has been very helpful to us, the Muslim Aid team is very grateful for the excellent assistance that we get from the local leaders, local government and the community,” said Joko Yuliantoro, the Emergency Team Leader.
Muslim Aid has assisted 12,500 households in East and Central Java during its relief efforts from December 2007 to April 2008. The effort was funded by Muslim Aid UK, Muslim Aid Australia, and UN OCHA. As part of the assistance, Muslim Aid delivered a community-based disaster management in the District of Ngawi, a district which is annually flooded, to help the community prepare themselves on how to manage and cope with the disasters.

(for further info please visit www.muslimaid.org)

Sunday, July 6, 2008

Ika Puji, a Stout Hearted Daughter

Anak itu menyeka peluh yang membasahi keningnya. Dia baru saja melakukan registrasi ulang dari sekolah yang jaraknya sekitar 7 kilo meter dari rumahnya dan setiap hari dia tempuh dengan berjalan kaki melalui jalanan yang naik turun. Membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk menempuh perjalanan itu mengingat rumahnya terletak di salah satu puncak perbukitan Menoreh dengan ketinggian diatas 650 meter dari atas permukaan laut.

“Mari, mas, maaf tempatnya masih berantakan…!” sambutnya ramah bersama Bu Nah, ibunya, saat Team Muslim Aid menyambanginya siang itu.

Ika Puji namanya, siswa kelas 2 SMK Negeri 1 Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo. Dia tinggal di Dusun Nglinggo, Desa Pagerharjo, Kecamatan Samigaluh, bersama ibu dan adiknya, Ita, yang masih duduk di kelas empat SD. Ayahnya baru saja pergi menghadap Sang Khaliq awal minggu ini, setelah selama setahun berjuang melawan penyakitnya.

Lahir dari sebuah keluarga sederhana, Ika adalah anak yang rajin bekerja membantu kedua orang tuanya sekaligus anak yang cukup cerdas di sekolahnya. Pak Sarto, sang ayah, hanyalah seorang buruh bangunan dengan penghasilan tidak menentu. Sedangkan ibunya, Bu Sartinah, bekerja mengolah ladang yang luasnya tidak seberapa. Seperti nasib kebanyakan buruh dan petani kecil lainnya, kehidupan ekonomi keluarga Ika tidaklah mapan. Penghasilan mereka hanya cukup untuk makan sehari-hari dan biaya sekolah Ika dan adiknya. Tidak heran, Ika dan keluarganya hanya mendiami sebuah rumah bata tanpa plester dengan lantai tanah yang kecil. Namun hal itu sama sekali tidak menyurutkan rasa syukur keluarga ini terbukti dengan rajinnya Pak Sarto sekeluarga beribadah kepada Allah dan Ika sendiri selalu rajin belajar dan tidak pernah mengeluhkan keadaannya.

Namun, Allah juga yang akan selalu menguji hamba-hamba-Nya yang beriman. Di pertengahan tahun 2007, saat tengah menjadi buruh pembangunan rumah salah satu tetangganya, Pak Sarto jatuh dari ketinggian sekitar 6 meter. Salah satu syaraf di pinggangnya cidera yang membuat Pak Sarto mengalami lumpuh sebagian. Selama sekitar satu bulan Pak Sarto dirawat di rumah sakit Dr. Sardjito Yogyakarta, yang menelan biaya yang tidak sedikit. Dari hasil pemeriksaan dokter diketahui juga kalau ternyata Pak Sarto menderita tumor prostat. Hal ini memperparah kondisi beliau sehingga karena tidak juga mengalami kemajuan yang berarti, pihak keluarga meminta untuk merawat sendiri Pak Sarto di rumah. Berbagai pengobatan alternatif pun dicoba meskipun tetap saja tidak memberikan perkembangan signifikan pada kondisi Pak Sarto yang sekarang hanya dapat berbaring dengan tubuh yang semakin mengurus.

Kondisi perekonomian keluarga inipun mulai limbung. Sebagai satu-satunya penopang perekonomian keluarga, sakitnya pak Sarto membuat keluarga ini tidak lagi mempunyai sumber pendapatan yang bisa diandalkan. Bahkan akhirnya mereka menjual sebagian ladangnya untuk menutupi biaya pengobatan Pak Sarto dan juga kebutuhan sehari-harinya.

Ika pun sangat memahami kondisi keluarganya saat ini. Dia bisa mengerti kalau saat ini ibunya tidak bisa lagi sekedar memberikan uang saku untuknya. Dia sepenuhnya menerima saat ibunya lebih mementingkan biaya hidup mereka sehari-hari, pengobatan ayahnya, dan uang saku adiknya daripada membayar uang gedung sekolahnya, membayar SPP-nya, atau melunasi uang seragamnya. Dia tahu, itu bukan karena ibunya tidak mengetahui kebutuhan dirinya, namun keadaanlah yang memaksa Bu Nah untuk pandai-pandai mensiasati perekonomian mereka. Didorong semangat kemandiriannya, Ika minta ijin ibunya untuk berjualan buah aren dari kebunnya. Di lain waktu dia membantu tetangganya memetik kopi untuk mendapatkan upah sebagai pengganti tenaganya. Ika melakukan itu seusai pulang sekolah atau pada saat hari libur. Uang yang dia dapat sebagian diberikan kepada ibunya dan sebagian yang lain dia gunakan untuk uang saku sekolahnya. Bu Nah hanya bisa menangis melihat semangat anak perempuannya, seiring rasa bangga juga muncul di benaknya. Kadang dia begitu nelangsa melihat anak pertamanya pulang sekolah bermandikan keringat tanpa Bu Nah dapat memberikan uang saku di pagi harinya.

Uang yang didapat Ika tentu saja jauh dari kebutuhannya yang sesungguhnya. Dia tidak mampu juga melunasi tunggakan pembayaran-pembayaran sekolahnya. Padahal ujian kenaikan kelas sudah dekat sehingga ketakutan tidak dapat mengikuti ujian selalu menghantuinya. Hal ini mendorongnya memberanikan diri meminta uang pada ibunya. Namun, darimana Bu Nah bisa mendapatkan uang sejumlah sekitar 700 ribu rupiah sebagai biaya pelunasan uang gedung, SPP, seragam, dan beberapa biaya lainnya? Di tengah keputus-asaannya, Bu Nah dan Pak Sarto dengan berat hati meminta Ika untuk berhenti sekolah saja. Selain karena tidak mampu lagi membiayainya, mereka juga kasihan melihat Ika yang setiap hari berjalan kaki sangat jauh tanpa mampu memberikan uang saku yang layak.

Ika menolaknya. Dia meyakinkan orang tuanya bahwa pasti ada jalan dari Allah. Alhamdulillah, pada saat itu Muslim Aid datang untuk memberikan sedikit bantuan kepada keluarga ini. Melalui program Goat Breeding, Muslim Aid memberikan alternatif sumber pendapatan tambahan kepada keluarga Pak Sarto. Selain itu Muslim Aid juga melunasi seluruh tunggakan pembayaran tahun pertama Ika Puji sehingga dia dapat tetap mengikuti ujian kenaikan kelas.

Namun, ujian Allah tidak berakhir sampai di situ. Setelah sekitar satu tahun berjuang melawan penyakitnya, kondisi pak Sarto semakin menurun. Tubuhnya kini sangat kurus dan tidak mampu lagi menggerakkan anggota badannya. Akhirnya, pada hari Selasa, tanggal 1 Juli 2008, pukul 04.00 sore, Pak Sarto menghembuskan nafas terakhirnya setelah semua cara pengobatan diusahakan untuknya. Pada saat terakhirnya Pak Sarto tiduran di ruang tengah, ditunggui keluarganya. Beliau menolak untuk dipindahkan ke kamar tidurnya dan berkata: "Mboten sah dipunpindah, ngaten punika kula sampun sekeca...!". Innalilahi wa innaillaihi roji’un! *

”Nyuwun donganipun, mas, mugi-mugi kula sakeluarga saged tansah dipun paringi kekiyatan nampi cobi menika lan margi gampil anggen kula pados biaya sekolah kangge lare-lare!” ucap Bu Nah terbata saat Team Muslim Aid menyalami tangannya. ** Rona kesedihan masih mengambang di wajah Bu Nah, Ika, dan si kecil Ita. Sekarang keluarga ini harus hidup tanpa Pak Sarto, sosok suami dan ayah yang sangat mereka sayangi. Namun ada keikhlasan disana dan ada semangat untuk menapaki hari-hari yang akan datang. (Jk)
***

* ”Tidak usah dipindah, begini saya sudah nyaman!”
** ”Minta doanya, mas, semoga saya dan keluarga selalu diberi kekuatan menerima cobaan ini, dan diberi jalan mudah dalam mencarikan biaya sekolah anak-anak!”

A New Home for Bu Sri...!

“Entah dengan apa kami bisa berterimakasih”, kata Bu Sri dengan mata berkaca. Suaminya yang berdiri di sampingnya mengangguk pelan. Jabatan tangan Bu Sri begitu erat, menggenggam tangan Alley, salah seorang staff kerja Dave Hodgkin, orang yang mengorganisir bantuan perumahan untuk orang-orang cacat bersama dengan Muslim Aid. Bu Sri, warga Dusun Satrian, Desa Cepoko, Kecamatan Sawit, Boyolali, Jawa Tengah, merupakan salah satu penerima bantuan ini dan rumahnya telah dapat di ekspand menjadi rumah permanen.

Sebelum terjadinya gempa 27 Mei 2006, Bu Sri bekerja sebagai seorang buruh di sebuah pabrik tekstil di daerah Kabupaten Boyolali. Suaminya, Pak Joko Bini, mempunyai toko minuman dan makanan kecil yang penghasilannya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Beruntung Bu Sri seorang pekerja keras dan tidak mudah mengeluh. Penghasilannya sebagai buruh pabrik dia gunakan untuk membiayai sekolah anak lelakinya. Didorong keinginan untuk meningkatkan perekonomian keluarganya, Pak Joko Bini pergi ke Kalimantan, bekerja di sebuah perkebunan. Ia menjual toko kecil miliknya dan menggunakan uangnya untuk biaya tiket dan modal. Bu Sri sendirian membesarkan kedua anaknya yang masih kecil dengan terus berharap kehidupannya akan berangsur membaik.
Namun, Tuhan mempunyai cerita sendiri untuk setiap hamba-hamba-Nya. Pak Joko Bini harus meninggalkan pekerjaan yang baru dijalaninya sebentar, ketika dia menerima kabar tentang gempa besar yang melanda Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Sabtu, 27 Mei 2006, mungkin merupakan hari yang tidak akan pernah dilupakan oleh Ibu Sri Tumini dan keluarganya. Gempa besar yang mengguncang Yogyakarta dan Jawa Tengah meluluh-lantakkan ratusan ribu rumah, menewaskan 6,000 jiwa, dan ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal. Tidak terkecuali rumah kecil miliknya yang roboh dan menimpa dirinya. Bukan itu saja, anak bungsunya, Eko Prasetyo, yang saat itu berusia 4 tahun ikut terkubur dalam puing-puing rumahnya.
Pagi itu Bu Sri tengah bersiap-siap memandikan Eko sebelum berangkat ke pabrik tempat dia bekerja. Tiba-tiba dia merasakan bumi bergetar dengan hebat dan secara reflek dia berlari membawa anaknya keluar. Malang, rumah kecil yang dia bangun bersama suaminya telah runtuh terlebih dahulu. Gordijn rumah tepat menimpanya, sementara anaknya terkubur reruntuhan tembok. Dia berteriak minta tolong, namun suaranya tertelan gemuruh rumah-rumah yang runtuh saat itu.

Ketika Bu Sri tersadar, dia telah dirawat di tenda darurat. Rasa sakit menyergapnya namun yang kemudian terlintas pertama kali adalah bagaimana kondisi anaknya. Dan barulah dia merasa lega ketika tahu bahwa anaknya hanya mengalami luka kecil sedang anak sulungnya selamat.

Gempa telah mengubah hidupnya selamanya. Dokter mengatakan bahwa tulang belakangnya terluka sehingga dia harus menjalani sisa hidupnya sebagai seorang yang cacat. Dia menjalani terapi dan bantuan medis yang diberikan oleh salah satu NGO yang bekerja membantu para korban gempa. Seluruh tabungannya yang hanya sedikit habis untuk keperluan perawatannya. Kepulangan suaminya memang memberikan bantuan moral yang besar, namun keadaan ekonomi mereka memburuk dengan drastis, sehingga untuk hidup pun mereka menggantungkan bantuan orang tua Bu Sri. Dan sejak gempa bumi terjadi, cobaan terus-menerus mendera keluarga ini.

Sebulan setelah gempa terjadi, Eko mendadak sakit panas. Bu Sri yang saat itu tengah menjalani terapi di rumah sakit bersama suaminya diminta pulang. Pada saat dia tiba dirumah, dia mendapatkan tubuh anaknya telah terbujur kaku. Bu Sri dan suaminya menangis, menumpahkan kesedihannya. Tidak disangka, anak bungsunya berpulang begitu cepat, meninggalkan keluarganya. Bahkan sang kakek tak kuasa menahan tangis sembari berdoa kepada Allah agar mengambil hidupnya sebagai ganti kehidupan cucu kesanyangannya.
Subhanallah, maha suci Allah yang selalu penuh kasih kepada hamba-hamba-Nya. 2 jam setelah dinyatakan meninggal, jenazah Eko yang baru saja dimandikan mendadak bergerak kembali. Nadinya berdetak normal lagi dan mengejutkan ratusan pelayat yang hadir. Bu Sri dan keluarganya sontak mengucapkan syukur tak henti-hentinya kepada Allah.

Seakan tiada habisnya, keluarga ini kembali harus mengalami cobaan pahit ketika mengetahui nama mereka tidak masuk kedalam daftar penerima bantuan rumah permanen baik dari pemerintah maupun dari pihak-pihak lain. Lebih dari satu tahun lamanya mereka terpaksa hidup di shelter bambu yang mereka bangun sendiri. Berempat mereka tidur di atas satu-satunya tempat tidur yang ada di shelter mereka sambil berharap ada yang datang membantu keluarga mereka. Semua uang mereka telah habis, sehingga Pak Joko Bini pun kesulitan memulai pekerjaan baru. Dia bergabung dengan tetangganya menjadi tenaga serabutan, kadang menjadi buruh bangunan atau membantu mengangkut kayu dengan penghasilan yang tentu saja jauh dari mencukupi. Mereka semakin putus asa ketika melihat tetangga-tetangga mereka sudah mempunyai rumah baru sedang mereka masih menggantungkan hidup dari orang tua. Belum lagi anak sulung mereka, Trisno Nugroho, mulai membutuhkan banyak biaya karena sudah akan naik kelas 3 SMP, sedang adiknya sudah harus masuk sekolah dasar. Namun pada saat mereka benar-benar diuji ketegarannya dan mulai putus asa mengharapkan rumah baru, di bulan Agustus 2007 keluarga ini menerima kunjungan tak terduga dari volunter Muslim Aid. Tim volunter ini melakukan pendataan korban gempa yang belum mendapatkan bantuan rumah, khususnya bagi korban yang mengalami cacat fisik karena gempa.

”Sampaikan terimakasih kami pada Pak Wilmot, mas! Bertemu dengan beliau dan mendengar nasehatnya membuat kami semakin tegar menghadapi hidup. Semoga beliau selalu sehat!,” imbuh ibu dua anak ini kepada tim Muslim Aid yang menemani kunjungan Alley untuk melihat langsung rumah permanen yang dibangun melalui project Muslim Aid ”Semi Permanent House Assistance for Disabled”. Pak Wilmot yang Bu Sri maksud adalah Bapak H. Fadlullah Wilmot, Country Director Muslim Aid Indonesia. Beliau menyempatkan diri mengunjungi keluarga Bu Sri pada awal September 2007.

Pada saat itu Pak Wilmot berpesan;
“Nanti Muslim Aid akan berusaha membantu Bapak-Ibu dengan rumah yang lebih baik. Bapak-Ibu jangan lupa terus berdoa, semoga Ibu bisa segera sehat dan Bapak bisa bekerja lagi. Insyaallah, Allah pasti memberi jalan bagi keluarga Bapak-Ibu!”

Sebuah pesan yang dimaknai dengan sangat dalam baik oleh Bu Sri maupun Pak Joko Bini. Nasehat inilah yang mereka jadikan pegangan menjalani kehidupan mereka. Semangat baru muncul ketika mereka tahu masih banyak orang-orang yang peduli dengan nasib mereka. Kepedulian yang ditunjukkan Pak Wilmot menghadirkan kembali harapan yang awalnya mulai redup.

Kini Bu Sri dan keluarganya telah menempati rumah permanent baru yang dibangun oleh Muslim Aid. Pak Joko Bini sendiri telah siap memulai kembali usaha toko minuman dan makanan kecilnya dengan bantuan modal yang juga diberikan oleh Muslim Aid untuk membantu perekonomiannya. (Jk)

PON XVII dan Semangat Kita...!

Euro 2008 sudah berlalu dengan membawa kekecewaan. Spain membuktikan bahwa permainan yang konsisten adalah kunci untuk dapat memenangkan sebuah kejuaraan. Sesuatu yang gagal diperagakan oleh Belanda, Jerman, dan Italia, 3 negara yang secara tradisi adalah unggulan-unggulan sebuah turnamen. Saya sendiri yang menyukai total football Belanda, kecewa berat dengan permainan mereka saat melawan Rusia yang dengan apik mem-plagiat cara bermain mereka.
Well, sudahlah, mari kita tinggalkan Euro 2008 yang seandainya kita letakkan di tempat yang semestinya bukanlah pesta kita Bangsa Indonesia. Saat ini justru seharusnya kita yang sedang berpesta dengan digelarnya PON XVII di Kalimantan Timur. Sebuah event olah raga terbesar di tanah air yang pembukaannya dilakukan Presidan SBY ini ternyata tidak mendapatkan peliputan sebesar Euro 2008. Hanya TVRI yang melakukan siaran Live pembukaan dan beberapa pertandingan.
Ini adalah kebalikan dengan yang terjadi pada era Orde Baru. Setiap kali ajang PON diselenggarakan dipastikan semua televsi nasional akan merelay siaran langsungnya dari TVRI meliput atlit-atlit terbaik negeri ini berlaga. Lalu ajang bergengsi SEA Games. Semua orang akan larut bangga saat seorang atlit mampu menyumbangkan medali emas dan Indonesia Raya berkumandang seiring dikibarkannya Sang Merah Putih dengan megah. Atau jutaan warga akan ikut marah dan mencaci maki saat atlit Indonesia dicurangi oleh wasit saat bertanding melawan atlit tuan rumah. Tidak heran jika pada jaman Orde Baru Indonesia adalah langganan juara umum.
Sekarang?
Indonesia seperti kehilangan semua tajinya di pentas olah raga ASEAN (kita tidak usah bicara Asia apalagi dunia). Jangankan bersaing dengan Thailand, superioritas kita sudah digerogoti oleh Vietnam dan Singapore. Malaysia juga tetap menjadi saingan berat kita. Dunia olahraga kita seperti jalan di tempat, stagnan!
Terlalu banyak yang salah dengan pembinaan atlit kita mungkin. Namun kesalahan pada penanaman rasa kebangsaan kita juga begitu besar. Manajemen bonus membuat banyak atlit kita yang hanya bermain berdasarkan bonus. Semakin tinggi bonusnya, semakin bersemangat mereka bermain. Dengan manjemen uang ini juga yang membuat televisi-televisi kita ogah menyiarkan pertandingan di event PON dan SEA Games. Alasannya sudah pasti, sponsorship dan ratingnya kecil. Dengan begitu lebih baik mereka menggunakan budgetnya untuk membiayai siaran langsung semacam EURO 2008 yang meskipun mahal sekali tapi mampu menangguk untung.
Bangsa kita mungkin memang sedang dalam masa gelapnya. Reformasi 2008 hanya berhenti dengan pelengseran Pak Harto dan bukan pemberangusan mis-managemen bangsa ini. Hasilnya, korupsi adalah sesuatu yang lumrah dan harus dilakukan oleh pemerintah, DPR, dan lembaga-lembaga lain. Demokrasi kita berhenti pada penyelenggaraan pemilu dan pilkada yang menelan biaya luar biasa. Harga-harga kebutuhan yang semakin membumbung tinggi adalah bukti bahwa reformasi masih gagal untuk membela rakyatnya sendiri.
Saya kangen menyanyikan lagu Garuda Pancasila bersama-sama dengan lantang. Saya kangen memberikan hormat pada Sang Merah Putih di atas tiang. Saya kangen melihat bangsa ini bersatu dan berkata; "Aku adalah Indonesia, Indonesia adalah aku...!".

(searching for solution mode is on...!)


"Semangatku satu, untukmu Indonesiaku…!”

"Semangatku satu, untukmu Indonesiaku…!”
~ picture by hangga ranuwidjaja ~