Sunday, July 6, 2008

Ika Puji, a Stout Hearted Daughter

Anak itu menyeka peluh yang membasahi keningnya. Dia baru saja melakukan registrasi ulang dari sekolah yang jaraknya sekitar 7 kilo meter dari rumahnya dan setiap hari dia tempuh dengan berjalan kaki melalui jalanan yang naik turun. Membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk menempuh perjalanan itu mengingat rumahnya terletak di salah satu puncak perbukitan Menoreh dengan ketinggian diatas 650 meter dari atas permukaan laut.

“Mari, mas, maaf tempatnya masih berantakan…!” sambutnya ramah bersama Bu Nah, ibunya, saat Team Muslim Aid menyambanginya siang itu.

Ika Puji namanya, siswa kelas 2 SMK Negeri 1 Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo. Dia tinggal di Dusun Nglinggo, Desa Pagerharjo, Kecamatan Samigaluh, bersama ibu dan adiknya, Ita, yang masih duduk di kelas empat SD. Ayahnya baru saja pergi menghadap Sang Khaliq awal minggu ini, setelah selama setahun berjuang melawan penyakitnya.

Lahir dari sebuah keluarga sederhana, Ika adalah anak yang rajin bekerja membantu kedua orang tuanya sekaligus anak yang cukup cerdas di sekolahnya. Pak Sarto, sang ayah, hanyalah seorang buruh bangunan dengan penghasilan tidak menentu. Sedangkan ibunya, Bu Sartinah, bekerja mengolah ladang yang luasnya tidak seberapa. Seperti nasib kebanyakan buruh dan petani kecil lainnya, kehidupan ekonomi keluarga Ika tidaklah mapan. Penghasilan mereka hanya cukup untuk makan sehari-hari dan biaya sekolah Ika dan adiknya. Tidak heran, Ika dan keluarganya hanya mendiami sebuah rumah bata tanpa plester dengan lantai tanah yang kecil. Namun hal itu sama sekali tidak menyurutkan rasa syukur keluarga ini terbukti dengan rajinnya Pak Sarto sekeluarga beribadah kepada Allah dan Ika sendiri selalu rajin belajar dan tidak pernah mengeluhkan keadaannya.

Namun, Allah juga yang akan selalu menguji hamba-hamba-Nya yang beriman. Di pertengahan tahun 2007, saat tengah menjadi buruh pembangunan rumah salah satu tetangganya, Pak Sarto jatuh dari ketinggian sekitar 6 meter. Salah satu syaraf di pinggangnya cidera yang membuat Pak Sarto mengalami lumpuh sebagian. Selama sekitar satu bulan Pak Sarto dirawat di rumah sakit Dr. Sardjito Yogyakarta, yang menelan biaya yang tidak sedikit. Dari hasil pemeriksaan dokter diketahui juga kalau ternyata Pak Sarto menderita tumor prostat. Hal ini memperparah kondisi beliau sehingga karena tidak juga mengalami kemajuan yang berarti, pihak keluarga meminta untuk merawat sendiri Pak Sarto di rumah. Berbagai pengobatan alternatif pun dicoba meskipun tetap saja tidak memberikan perkembangan signifikan pada kondisi Pak Sarto yang sekarang hanya dapat berbaring dengan tubuh yang semakin mengurus.

Kondisi perekonomian keluarga inipun mulai limbung. Sebagai satu-satunya penopang perekonomian keluarga, sakitnya pak Sarto membuat keluarga ini tidak lagi mempunyai sumber pendapatan yang bisa diandalkan. Bahkan akhirnya mereka menjual sebagian ladangnya untuk menutupi biaya pengobatan Pak Sarto dan juga kebutuhan sehari-harinya.

Ika pun sangat memahami kondisi keluarganya saat ini. Dia bisa mengerti kalau saat ini ibunya tidak bisa lagi sekedar memberikan uang saku untuknya. Dia sepenuhnya menerima saat ibunya lebih mementingkan biaya hidup mereka sehari-hari, pengobatan ayahnya, dan uang saku adiknya daripada membayar uang gedung sekolahnya, membayar SPP-nya, atau melunasi uang seragamnya. Dia tahu, itu bukan karena ibunya tidak mengetahui kebutuhan dirinya, namun keadaanlah yang memaksa Bu Nah untuk pandai-pandai mensiasati perekonomian mereka. Didorong semangat kemandiriannya, Ika minta ijin ibunya untuk berjualan buah aren dari kebunnya. Di lain waktu dia membantu tetangganya memetik kopi untuk mendapatkan upah sebagai pengganti tenaganya. Ika melakukan itu seusai pulang sekolah atau pada saat hari libur. Uang yang dia dapat sebagian diberikan kepada ibunya dan sebagian yang lain dia gunakan untuk uang saku sekolahnya. Bu Nah hanya bisa menangis melihat semangat anak perempuannya, seiring rasa bangga juga muncul di benaknya. Kadang dia begitu nelangsa melihat anak pertamanya pulang sekolah bermandikan keringat tanpa Bu Nah dapat memberikan uang saku di pagi harinya.

Uang yang didapat Ika tentu saja jauh dari kebutuhannya yang sesungguhnya. Dia tidak mampu juga melunasi tunggakan pembayaran-pembayaran sekolahnya. Padahal ujian kenaikan kelas sudah dekat sehingga ketakutan tidak dapat mengikuti ujian selalu menghantuinya. Hal ini mendorongnya memberanikan diri meminta uang pada ibunya. Namun, darimana Bu Nah bisa mendapatkan uang sejumlah sekitar 700 ribu rupiah sebagai biaya pelunasan uang gedung, SPP, seragam, dan beberapa biaya lainnya? Di tengah keputus-asaannya, Bu Nah dan Pak Sarto dengan berat hati meminta Ika untuk berhenti sekolah saja. Selain karena tidak mampu lagi membiayainya, mereka juga kasihan melihat Ika yang setiap hari berjalan kaki sangat jauh tanpa mampu memberikan uang saku yang layak.

Ika menolaknya. Dia meyakinkan orang tuanya bahwa pasti ada jalan dari Allah. Alhamdulillah, pada saat itu Muslim Aid datang untuk memberikan sedikit bantuan kepada keluarga ini. Melalui program Goat Breeding, Muslim Aid memberikan alternatif sumber pendapatan tambahan kepada keluarga Pak Sarto. Selain itu Muslim Aid juga melunasi seluruh tunggakan pembayaran tahun pertama Ika Puji sehingga dia dapat tetap mengikuti ujian kenaikan kelas.

Namun, ujian Allah tidak berakhir sampai di situ. Setelah sekitar satu tahun berjuang melawan penyakitnya, kondisi pak Sarto semakin menurun. Tubuhnya kini sangat kurus dan tidak mampu lagi menggerakkan anggota badannya. Akhirnya, pada hari Selasa, tanggal 1 Juli 2008, pukul 04.00 sore, Pak Sarto menghembuskan nafas terakhirnya setelah semua cara pengobatan diusahakan untuknya. Pada saat terakhirnya Pak Sarto tiduran di ruang tengah, ditunggui keluarganya. Beliau menolak untuk dipindahkan ke kamar tidurnya dan berkata: "Mboten sah dipunpindah, ngaten punika kula sampun sekeca...!". Innalilahi wa innaillaihi roji’un! *

”Nyuwun donganipun, mas, mugi-mugi kula sakeluarga saged tansah dipun paringi kekiyatan nampi cobi menika lan margi gampil anggen kula pados biaya sekolah kangge lare-lare!” ucap Bu Nah terbata saat Team Muslim Aid menyalami tangannya. ** Rona kesedihan masih mengambang di wajah Bu Nah, Ika, dan si kecil Ita. Sekarang keluarga ini harus hidup tanpa Pak Sarto, sosok suami dan ayah yang sangat mereka sayangi. Namun ada keikhlasan disana dan ada semangat untuk menapaki hari-hari yang akan datang. (Jk)
***

* ”Tidak usah dipindah, begini saya sudah nyaman!”
** ”Minta doanya, mas, semoga saya dan keluarga selalu diberi kekuatan menerima cobaan ini, dan diberi jalan mudah dalam mencarikan biaya sekolah anak-anak!”

No comments:

"Semangatku satu, untukmu Indonesiaku…!”

"Semangatku satu, untukmu Indonesiaku…!”
~ picture by hangga ranuwidjaja ~