Sunday, July 6, 2008

A New Home for Bu Sri...!

“Entah dengan apa kami bisa berterimakasih”, kata Bu Sri dengan mata berkaca. Suaminya yang berdiri di sampingnya mengangguk pelan. Jabatan tangan Bu Sri begitu erat, menggenggam tangan Alley, salah seorang staff kerja Dave Hodgkin, orang yang mengorganisir bantuan perumahan untuk orang-orang cacat bersama dengan Muslim Aid. Bu Sri, warga Dusun Satrian, Desa Cepoko, Kecamatan Sawit, Boyolali, Jawa Tengah, merupakan salah satu penerima bantuan ini dan rumahnya telah dapat di ekspand menjadi rumah permanen.

Sebelum terjadinya gempa 27 Mei 2006, Bu Sri bekerja sebagai seorang buruh di sebuah pabrik tekstil di daerah Kabupaten Boyolali. Suaminya, Pak Joko Bini, mempunyai toko minuman dan makanan kecil yang penghasilannya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Beruntung Bu Sri seorang pekerja keras dan tidak mudah mengeluh. Penghasilannya sebagai buruh pabrik dia gunakan untuk membiayai sekolah anak lelakinya. Didorong keinginan untuk meningkatkan perekonomian keluarganya, Pak Joko Bini pergi ke Kalimantan, bekerja di sebuah perkebunan. Ia menjual toko kecil miliknya dan menggunakan uangnya untuk biaya tiket dan modal. Bu Sri sendirian membesarkan kedua anaknya yang masih kecil dengan terus berharap kehidupannya akan berangsur membaik.
Namun, Tuhan mempunyai cerita sendiri untuk setiap hamba-hamba-Nya. Pak Joko Bini harus meninggalkan pekerjaan yang baru dijalaninya sebentar, ketika dia menerima kabar tentang gempa besar yang melanda Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Sabtu, 27 Mei 2006, mungkin merupakan hari yang tidak akan pernah dilupakan oleh Ibu Sri Tumini dan keluarganya. Gempa besar yang mengguncang Yogyakarta dan Jawa Tengah meluluh-lantakkan ratusan ribu rumah, menewaskan 6,000 jiwa, dan ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal. Tidak terkecuali rumah kecil miliknya yang roboh dan menimpa dirinya. Bukan itu saja, anak bungsunya, Eko Prasetyo, yang saat itu berusia 4 tahun ikut terkubur dalam puing-puing rumahnya.
Pagi itu Bu Sri tengah bersiap-siap memandikan Eko sebelum berangkat ke pabrik tempat dia bekerja. Tiba-tiba dia merasakan bumi bergetar dengan hebat dan secara reflek dia berlari membawa anaknya keluar. Malang, rumah kecil yang dia bangun bersama suaminya telah runtuh terlebih dahulu. Gordijn rumah tepat menimpanya, sementara anaknya terkubur reruntuhan tembok. Dia berteriak minta tolong, namun suaranya tertelan gemuruh rumah-rumah yang runtuh saat itu.

Ketika Bu Sri tersadar, dia telah dirawat di tenda darurat. Rasa sakit menyergapnya namun yang kemudian terlintas pertama kali adalah bagaimana kondisi anaknya. Dan barulah dia merasa lega ketika tahu bahwa anaknya hanya mengalami luka kecil sedang anak sulungnya selamat.

Gempa telah mengubah hidupnya selamanya. Dokter mengatakan bahwa tulang belakangnya terluka sehingga dia harus menjalani sisa hidupnya sebagai seorang yang cacat. Dia menjalani terapi dan bantuan medis yang diberikan oleh salah satu NGO yang bekerja membantu para korban gempa. Seluruh tabungannya yang hanya sedikit habis untuk keperluan perawatannya. Kepulangan suaminya memang memberikan bantuan moral yang besar, namun keadaan ekonomi mereka memburuk dengan drastis, sehingga untuk hidup pun mereka menggantungkan bantuan orang tua Bu Sri. Dan sejak gempa bumi terjadi, cobaan terus-menerus mendera keluarga ini.

Sebulan setelah gempa terjadi, Eko mendadak sakit panas. Bu Sri yang saat itu tengah menjalani terapi di rumah sakit bersama suaminya diminta pulang. Pada saat dia tiba dirumah, dia mendapatkan tubuh anaknya telah terbujur kaku. Bu Sri dan suaminya menangis, menumpahkan kesedihannya. Tidak disangka, anak bungsunya berpulang begitu cepat, meninggalkan keluarganya. Bahkan sang kakek tak kuasa menahan tangis sembari berdoa kepada Allah agar mengambil hidupnya sebagai ganti kehidupan cucu kesanyangannya.
Subhanallah, maha suci Allah yang selalu penuh kasih kepada hamba-hamba-Nya. 2 jam setelah dinyatakan meninggal, jenazah Eko yang baru saja dimandikan mendadak bergerak kembali. Nadinya berdetak normal lagi dan mengejutkan ratusan pelayat yang hadir. Bu Sri dan keluarganya sontak mengucapkan syukur tak henti-hentinya kepada Allah.

Seakan tiada habisnya, keluarga ini kembali harus mengalami cobaan pahit ketika mengetahui nama mereka tidak masuk kedalam daftar penerima bantuan rumah permanen baik dari pemerintah maupun dari pihak-pihak lain. Lebih dari satu tahun lamanya mereka terpaksa hidup di shelter bambu yang mereka bangun sendiri. Berempat mereka tidur di atas satu-satunya tempat tidur yang ada di shelter mereka sambil berharap ada yang datang membantu keluarga mereka. Semua uang mereka telah habis, sehingga Pak Joko Bini pun kesulitan memulai pekerjaan baru. Dia bergabung dengan tetangganya menjadi tenaga serabutan, kadang menjadi buruh bangunan atau membantu mengangkut kayu dengan penghasilan yang tentu saja jauh dari mencukupi. Mereka semakin putus asa ketika melihat tetangga-tetangga mereka sudah mempunyai rumah baru sedang mereka masih menggantungkan hidup dari orang tua. Belum lagi anak sulung mereka, Trisno Nugroho, mulai membutuhkan banyak biaya karena sudah akan naik kelas 3 SMP, sedang adiknya sudah harus masuk sekolah dasar. Namun pada saat mereka benar-benar diuji ketegarannya dan mulai putus asa mengharapkan rumah baru, di bulan Agustus 2007 keluarga ini menerima kunjungan tak terduga dari volunter Muslim Aid. Tim volunter ini melakukan pendataan korban gempa yang belum mendapatkan bantuan rumah, khususnya bagi korban yang mengalami cacat fisik karena gempa.

”Sampaikan terimakasih kami pada Pak Wilmot, mas! Bertemu dengan beliau dan mendengar nasehatnya membuat kami semakin tegar menghadapi hidup. Semoga beliau selalu sehat!,” imbuh ibu dua anak ini kepada tim Muslim Aid yang menemani kunjungan Alley untuk melihat langsung rumah permanen yang dibangun melalui project Muslim Aid ”Semi Permanent House Assistance for Disabled”. Pak Wilmot yang Bu Sri maksud adalah Bapak H. Fadlullah Wilmot, Country Director Muslim Aid Indonesia. Beliau menyempatkan diri mengunjungi keluarga Bu Sri pada awal September 2007.

Pada saat itu Pak Wilmot berpesan;
“Nanti Muslim Aid akan berusaha membantu Bapak-Ibu dengan rumah yang lebih baik. Bapak-Ibu jangan lupa terus berdoa, semoga Ibu bisa segera sehat dan Bapak bisa bekerja lagi. Insyaallah, Allah pasti memberi jalan bagi keluarga Bapak-Ibu!”

Sebuah pesan yang dimaknai dengan sangat dalam baik oleh Bu Sri maupun Pak Joko Bini. Nasehat inilah yang mereka jadikan pegangan menjalani kehidupan mereka. Semangat baru muncul ketika mereka tahu masih banyak orang-orang yang peduli dengan nasib mereka. Kepedulian yang ditunjukkan Pak Wilmot menghadirkan kembali harapan yang awalnya mulai redup.

Kini Bu Sri dan keluarganya telah menempati rumah permanent baru yang dibangun oleh Muslim Aid. Pak Joko Bini sendiri telah siap memulai kembali usaha toko minuman dan makanan kecilnya dengan bantuan modal yang juga diberikan oleh Muslim Aid untuk membantu perekonomiannya. (Jk)

No comments:

"Semangatku satu, untukmu Indonesiaku…!”

"Semangatku satu, untukmu Indonesiaku…!”
~ picture by hangga ranuwidjaja ~